About IISMA and How We Didn’t Make It to Italy 🇮🇹

This is a story about hopes, failure, rejection, and everything in between.

Surya Negara
8 min readDec 29, 2021

As a human, we tend to fail in understanding that failure is not a dead-end of our stories. Failure and rejection often become a detour or redirection to a better path.

Awalnya, draf artikel ini saya tulis pada 5 Oktober 2021, yaitu pada malam saat kami (secara mendadak tentunya) mendapatkan konfirmasi tiket keberangkatan menuju Granada. Namun saya mengurungkan niat untuk menyelesaikannya pada malam itu karena takut apa yang saya tulis terasa kurang dalam. Drafnya saya buka dan tulis lagi pada 29 Desember 2021 saat saya sudah kembali ke Indonesia dan sedang menjalani karantina. Pada titik ini, saya sepenuhnya merasa bahwa pengalihan destinasi dari Pisa ke Granada itu adalah sebuah Detour. And its definitely a beautiful one!

Penafian: apa yang diceritakan di sini bukan didasari oleh niat ‘membandingkan’. Alih-alih, didorong atas rasa bahagia dan syukur. Bahwa alasan pengalihan kami yang awalnya terasa menyedihkan itu, ternyata berubah menjadi suatu pengalaman yang amat kami syukuri. Saya yakin bahwa teman-teman kami yang kemudian tetap berangkat ke Pisa juga mendapatkan pengalaman yang menyenangkan; hanya dalam bentuk yang berbeda saja.

Tulisan ini adalah bagian pertama dari dua serangkai. Untuk membaca bagian kedua, klik tautan di bawah ini:

About IISMA and Why We Will Come Back to Granada! ❤️😳 (Belum ditulis. Sabar, ya! 😂)

Kali pertama kami bertemu secara langsung saat mengajukan Visa. ✨

Sejak awal, terutama bagi saya pribadi, semua hal yang berkaitan dengan IISMA adalah roller-coaster perasaan.

  1. Saat masa nominasi di kampus asal, saya hampir terlambat mendaftar 😅. Untungnya, kantor KUI kampus saya memperpanjang masa pendaftaran, dan Jurusan Informatika UII dengan mudah memberikan dukungan berupa surat rekomendasi. Padahal, saat itu kampus saya sudah memasuki masa libur lebaran.
  2. Karena tenggat pendaftaran yang sudah dekat, satu-satunya opsi yang bisa saya ambil untuk sertifikasi bahasa adalah Duolingo English Test. Setelah 2 hari menunggu hasil, tes saya dinyatakan tidak berlaku dan perlu diulang karena ketika ujian berlangsung saya lupa mengikat rambut sehingga telinga saya tertutupi.
  3. Jika mengikuti linimasa di buku panduan, rentang waktu antara tenggat pendaftaran dan pengumuman peserta lolos IISMA kurang dari 10 hari. Sebenarnya terasa tidak masuk akal karena proses yang perlu dilalui cukup panjang: seleksi berkas, wawancara, verifikasi dokumen. Dan ternyata benar: pengumuman IISMA mundur hampir 1 bulan dari jadwal (Mengabaikan permasalahan website dan ketidaksesuaian data antara di website dan pengumuman resmi ke kantor KUI).
  4. Seorang teman baik yang meminta saya mendaftarkan diri ke IISMA tidak lolos 😭.
  5. Dan tentu puncak roller-coasternya yang paling seru adalah: Tidak jadi berangkat 😂.

Secara pribadi, saya memiliki trauma tersendiri dengan proses berangkat ke luar negeri. Di tahun 2019, juga ketika akomodasi dan tiket perjalanan sudah di tangan, visa saya ditolak oleh kedutaan China atas sebab yang tidak pernah saya ketahui.

What IISMA has been about.

Ketika peserta lolos IISMA diumumkan, saya sedang berada di Makassar. Sejak awal saya sudah membayangkan bahwa hal yang membuat saya harus pulang dari Makassar kali ini adalah karena saya perlu berangkat sekolah (lagi) melalui skema IISMA.

Sore itu, saat sedang menggarap sebuah pesanan klien di studio bersama beberapa rekan, saya mendapat konfirmasi (setelah sejak sehari sebelumnya banyak informasi simpang siur) bahwa nama saya ada di dalam daftar lolos.

Reaksi pertama saya adalah: pergi ke kamar mandi. Menyalakan kran air supaya timbul suara berisik, dan menangis.

Mungkin bagi banyak awardee lainnya, IISMA adalah just–their–another–casual–win: sebuah tropi mungil di sudut lemari piala mereka. Tapi bagi saya, IISMA adalah sebuah kesempatan yang amat besar–dan–berarti. Menjadi awardee IISMA juga terasa sangat lebih sentimental karena, anugerah besar ini datang di tahun–sedih yang besar, tahun di mana saya kehilangan seorang figur yang sangat serius mendorong saya untuk berjuang dan memperjuangkan pendidikan: ayah saya.

Ketika notifikasi itu saya terima, saya berseru dalam hati dengan air mata: “This could have became a good news for you, Dad!”. Tapi ya begitulah, saya cuma bisa nanges di kamar mandi 😂 sebagai ekspresi perasaan yang campur aduk.

Upaya Kami Sebelum Pembatalan

Kantor Urusan Internasional yang Tidak Responsif

Pihak dari kampus tujuan yang berhubungan dengan kami sebagai calon mahasiswa adalah kantor urusan internasional yang dalam hal ini, diwakili oleh 2 orang dengan nama yang sama 😅. Sejak awal, sebut saja Mrs. Laura dari University of Pi (π) ini terasa tidak responsif.

  1. Untuk dapat mengajukan visa studi, setidaknya kami memerlukan LoA dan bukti akomodasi selama masa studi. Dua hal dasar yang seharusnya bisa diurus dengan cepat itu, nyatanya tetap memakan waktu hampir dua bulan.
  2. Di pertemuan daring pertama (yang juga terlambat), Mrs. Laura meminta kami membuat daftar pertanyaan mengenai keberangkatan dan apapun. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, nyatanya tidak pernah dijawab.
  3. Selalu ada rentang waktu yang lama dalam proses komunikasi. Rata-rata, surel yang dikirim oleh Student Representative kami membutuhkan waktu 1–2 pekan untuk dijawab.
  4. Ternyata, ketidakresponsifan itu bukan hanya kami rasakan. Official IISMA pun juga mengaku kesulitan berkomunikasi dengan pihak University of Pi (π).
  5. Akhirnya setelah semua dokumen lengkap, proses penerbitan visa hanya memakan waktu 5 hari. Itupun tanpa kami perlu datang secara langsung ke agen atau kedutaan.

Penerbitan Ulang Paspor

Akibat kesalahan cetak pada KTP saya oleh Dinas Kependudukan, paspor pertama saya pun tercetak dengan kesalahan data tanggal lahir. Sehingga, ada ketidaksesuaian data antara Paspor–Akta Kelahiran–dan KTP Baru. Saya takut ketidaksesuaian data ini akan menjadi masalah pada proses penerbitan visa di kedutaan. Berikut adalah apa yang saya lakukan untuk menyelesaikannya:

  1. Mendatangi Unit Layanan Paspor Makassar untuk melakukan pembetulan tanggal lahir. Pembetulan dilakukan dengan mencetak keterangan pada halaman 4 paspor. Proses selesai dalam satu hari.
  2. Satu pekan setelahnya, saya mendapat informasi dari agen yang ditunjuk oleh kedutaan Italy bahwa semua pembetulan data harus berada di halaman profil (a.k.a memerlukan penerbitan paspor baru). Perbaikan di halaman 4 tidak bisa diterima. Dan bisa berpengaruh pada keputusan terbit–atau–tidaknya visa.
  3. Saya mendatangi kantor Unit Layanan Paspor lagi, menjelaskan dengan runtut mengapa saya memerlukan paspor baru. Sesuai yang saya baca di web Kementrian Hukum dan Ham, saya berhak mendapat paspor baru melalui prosedur Pencabutan atau Pembatalan. Namun Unit Layanan Paspor menolak karena masa berlaku paspor saya masih panjang. Setelah adu argumen yang cukup panjang dengan petugas front office yang saya yakini tidak mengerti prosesdur dan hanya tahu “kalau masa berlaku paspormu masih lama, kamu nggak bisa minta yang baru!” itu, saya memutuskan menelpon kantor imigrasi tempat paspor saya diterbitkan: Surakarta.
  4. Saya menjelaskan ulang masalah yang saya alami dan meminta rekomendasi pejabat apa yang perlu saya temui yang mengerti prosedur untuk menyelesaikan masalah ini.
  5. Kantor Imigrasi Surakarta memberikan konfirmasi bahwa saya bisa mendapatkan paspor baru. Saya diminta untuk datang ke Kantor Imigrasi Makassar (bukan unit layanan paspor) dan jika memungkinkan diminta untuk bertemu dengan Kepala Lalu Lintas Keimigrasian (CMIIW)
  6. Hari itu juga, saya mendatangi Kantor Imigrasi Makassar. (Lagi-lagi) Menjelaskan dari awal masalah yang saya alami. Kesan yang saya dapatkan di Kantor ini adalah: pegawainya ramah, knowledgable, dan mau membantu!
  7. Saya cukup beruntung karena pejabat yang memiliki wewenang untuk melakukan prosedur penarikan data pembuatan paspor saya dari Kantor Imigrasi Surakarta (Sehingga memungkinkan untuk mencetak ulang paspor saya) sedang berada di tempat. “Berkah Jum’at!” ucap saya kepada petugas front office yang saya temui.
  8. Karena sudah pukul 4 sore, saya diminta untuk datang kembali pada hari selasa pekan depan untuk proses wawancara.
  9. Ketika proses wawancara, saya petugas memberi tahu bahwa untuk kasus ini, perlu dilakukan peninjauan ulang yang artinya: berkas saya perlu dikirim ke Jakarta, ditinjau ulang, dan diputuskan layak–atau–tidak mendapat cetak paspor ulang. Proses itu, bisa memakan waktu hingga 60 hari 🥲. Saya sudah pasrah karena tanpa prosedur ini, hampir bisa dipastikan visa saya akan ditolak karena masalah data. Sementara dengan prosedur ini, ada kemungkinan prosesnya tidak memakan 60 hari, dan satu hambatan penerbitan visa hilang.
  10. Singkat cerita, saya tidak perlu menunggu 60 hari, namun cukup satu pekan! Saya merasa ada proses yang tidak sesuai prosedur di sini: paspor saya tidak ditinjau ulang. Alih-alih, saya diproses dengan prosedur penerbitan paspir baru, bukan pencabutan atau pembatalan. Sebuah kesalahan prosedur yang menguntungkan saya? 😂😅
  11. Saya bisa memastikan tidak ada suap dalam pengurusan dokumen tersebut. Bahkan, saya mengurungkan niat untuk mengirim makanan ke petugas front office yang amat baik dan bersahabat sebagai ucapan terima kasih karena takut hal itu termasuk tindakan gratifikasi.

Akhirnya batal juga 😳

Setelah drama panjang dengan Mrs. Laura dan masalah paspor, visa kami terbit pada akhir Agustus 2020. Saya pun segera mengurus kepulangan ke rumah. Beruntung sekali bisa mendapatkan tiket langsung Makassar–Semarang 😳. Padahal kalau hanya tersedia yang Makassar–Jakarta–Semarang pun akan kugasak 😂.

Jika mengikuti prosedur IISMA, setelah visa kami terbit dan tunjangan hidup sudah masuk, kami seharusnya bisa segera menerima tiket keberangkatan kurang dari 7 hari. Namun lagi-lagi, karena Mrs. Laura ini tidak responsif dan terkesan tidak sepenuhnya terbuka, baik kepada calon mahasiswa maupun official IISMA, ada ruang abu-abu yang membuat pihak IISMA tidak bisa segera melakukan pemesanan tiket dan keberangkatan kami ditunda beberapa kali.

Selama koordinasi dengan Mrs. Laura, kami tidak mendapat kepastian mengenai jenis vaksin yang perlu kami ambil. Alhasil, kami berinisiatif menyesuaikan ketersediaan di daerah kami. Di Makassar sendiri, untuk mencari sentra vaksin AstraZeneca itu sulit sekali, bro. Bisa vaksin saja sudah untung 😂.

Ternyata, penundaan keberangkatan itu berkaitan dengan jenis vaksin yang beberapa dari kami ambil: Sinovac. Italia sendiri, sebagai negara yang pernah dihantam pandemi dengan sangat keras, cukup ketat dalam regulasi aktivitas masal. Untuk bisa mengikuti kuliah di kelas, makan di restoran, dan banyak macam aktivitas lainnya: seseorang perlu memiliki Green Pass yang hanya bisa didapat oleh mereka yang pernah terkonfirmasi positif Covid–19 atau telah menerima vaksin dari produsen vaksin tertentu. Tidak termasuk Sinovac, tentunya!

Nah bagian paling menyebalkan adalah: Pihak University of Pi (π) interestingly melepas tangan atas hal itu. Sejauh yang saya tahu, beberapa universitas lain di Italia lainnya mau memfasilitasi vaksin ulang bagi calon mahasiswa yang telah mengambil vaksin Sinovac. Mungkin ada banyak alasan. Yang jelas, semuanya berada di luar kendali kami.

Akhirnya setelah diskusi di balik layar antara IISMA dan Kantor Urusan Internasional para mahasiswa korban Sinovac, kami ditarik dari University of Pi (π). Sore itu saat sedang berolahraga, saya menerima sebuah telfon dari KUI yang secara singkat, padat, jelas, dan cukup menekan, mengabarkan bahwa saya harus memilih universitas tujuan lain atau tidak berangkat sama sekali.

“Ulil, kalau kamu dipindah ke Spanyol apakah bersedia?” 😳

Keputusan itu, harus dibuat dalam 90 menit. Dan kami tidak memiliki opsi berunding, apalagi menolak. Saya sempat hampir mengambil keputusan gila: tetap nekat berangkat ke Italia dan bersedia melakukan tes PCR setiap 2 hari sekali dengan biaya sendiri sampai mendapatkan vaksin yang sesuai.

Setelah keputusan bahwa kami bertujuh bersedia dipindah ditetapkan, semua proses pun harus diulang. Kami perlu mengurus LoA, akomodasi, asuransi, dan tentunya visa dari 0. Beruntung sekali, pihak International Office dari University of Granada ultra–responsif. Sehingga dalam waktu kurang dari 10 hari, kami sudah mendapatkan visa baru dari negara yang berbeda di tangan. Alhamdulillah.

Selama dua hari setelah mendapatkan keputusan pindah (yang sangat cepat itu) saya sempat mengalami masa ‘diam’ selama dua hari. Bukan sedih atas pembatalannya. Alih-alih karena ternyata, setelah sebuah rangkaian upaya panjang yang melelahkan, tetap ada kemungkinan yang tersisa untuk tidak berhasil mendapatkan apa yang kita inginkan. Meskipun hal tersebut benar-benar sudah ada di depan mata kita.

Kasus kami pun demikian: sudah cukup (?) bersabar selama 3 bulan, visa sudah di tangan, semua tunjangan sudah diterima, akomodasi sudah dipesan, asuransi sudah dibeli. Kami hanya perlu menunggu tiket untuk berangkat. Dan ternyata tetap batal juga.

Pengalaman ini mengingatkan saya untuk selalu menikmati dan bahagia dengan proses yang kita lalui dalam perjalanan mencapai suatu hal. Jangan pernah menaruh bahagia dan rasa puas pada hasil yang berada di akhir. Sehingga jika akhirnya ujung dari jalan yang kita lalui adalah: kegagalan, penolakan, atau pembatalan, setidaknya ada banyak hal yang sudah kita nikmati, rayakan, dan pelajari selama ada di perjalanan.

Panjang umur untuk kesabaran, ketekunan, dan semua mimpi-mimpi kecil kita yang besar! ✨

The day we finally departed to Granada 🇪🇸

--

--